Monday, 28 March 2016

MENGEJAR ASA

Semerbak wangi basah hujan, dingin malam menusuk tulang, terlihat remang di tengah jalanan, wajah murung di bersambut kusut, di sudut hati yang mulai kalut, terlihat huyun langkah tak terarah iringan grimis mulai menari, sebuah mimpi yang lama di cari, jatuh di jalan liku berduri, seoranga pemimpi dengan sejuta harap, selesai studi di bulan ini, akhir sapa dari orang tua, menanti anaknya mengenakan toga, sedikit lesu dia berjalan harapan itu terlihat padam, dengan rentetan waktu yang di punya seolah jiwa tak lagi terima, kenapa lama, kenapa terlalu lama kau disana? bukankah masa depanmu telah berwarna apakah kau menunggu harapan sirna? seolah berburu dengan jatuhnya air dia terus berjalan tanpa berfikir, sampailah dia di lorong kecil, tempat segala macam fikir, sederet kamar tanpa ukir, secuil kasur untukmu tidur, disudut sempit  disela letihmu, kau terdiam dalam renungan sepi, seolah waktu takingin berhenti tak terasa memburumu penuh dosa, berharap kau berharap akan ada jalan di sudut kota, di bawah gedung yang tertata, di deretan bangku para sarjana.
Alunan klasi musik alam, membawa sejuta kenangan yang hilang, merindu wajah ibunda tersayang menanti mimpi datang menghampiri, ada luka dalam hati saat ku coba terus berlari, dari jauhmata memandang secuil harapan kini nampak hilang, hidup di ujung pedang pancungan menjadi gunjingan dan hinaan, hidup selalu memberi warna, tapi kenyataan ini begitu menyiksa, merambat mimpi mengejar asa di deretan riuhnya ibu kota. desa yang ku tinggal begitu tenang walau gersang dengan pengalaman, hidup bagai bambu lurue sekali terayun oleh angin, deretan pemuda dengan kekuatan otot bekerja siang malam untuk kebutuhan, tapi kami hanyalah orang desa, sesekali ingin melihat gemerlapnya ibu kota, merajut asa meraih mimpi, sesekali hanya rekreasi, tapi apa daya aq terjatuh, dalam pusara tampa henti, di sebuah lubang bergerigi, diam aku mati berjalan terus sangat berat di kaki, hanya sebuah harapan dari panjangnya mimpi jika nanti aku telah resmi menjadi sarjana di kemudian hari.
Maafkan anakmu ayah, sampai kini aku tak bisa melihat tawamu, melihat senyum kebanggaan seorang ayah dari anak yang dia besarkan, aku sering menjadi beban dan memeras keringat dan air mata. jika nanti waktunya kan tiba aku ingin sekali menatapmu bangga, memelukmu sebagai wajah sarjana, dan mencium tanganmu yang telah memberiku segalanya, mencurahkan jiwa dan raga. Ayah mungkin letihmu tak berujung selembar doa tak mampu membalasnya, aku tak perduli jika engkau disana apapun nanti akan ku bahagiakan enggkau, maafkan anakmu yang membuat malu, merepotkanmu sepanjang waktu, tapi nanti saatnya aku ingin membahagiakanmu, dengan apa yang aku punya, asa ini masih ku jaga walau waktu hampir tak lgi tersisa namun semangat dan mengingatmu aku merasa bisa, karena kau tak pernah meminta kecuali bertanya kapan aku wisuda.
Deretan cerita yang tersimpan, aku tumbuh menjadi dewasa dan kau kini tampa tua, keriput dan lelah, menanggung beban atas diriku, tak sejauh apa kau meminta tapi akau akan selalu mengingatmu, mengenangmu dan berjanji merawatmu, sebagai seorang putra yang kau banggakan, sebagai balas atas apa yang kau berikan, walau deretan jasamu tak bisa ku abaikan, dan deretan kasihmu tak pernah bisa aku kembalikan, tapi diriku berjanji akan merawatmu dan membahagiakanmu suatu saat nanti, dengan apa yang aku miliki, dan sekali lagi asa ini masih ada dalam hati ku jaga dan ku tanam agar tetap kuat pendirian ku, agar semangt sebagai wujud terimakasihku kepadamu.

No comments:

Post a Comment